Belajar Mandiri; Materi Teks Resensi Kelas XI

Contoh Resensi Novel

Judul resensi    : Pembuktian Pepatah Sakti Man Jadda Wajada
Judul buku      : Negeri  5 Menara
Pengarang       : Ahmad Fuadi
Penerbit           : PT Gramedia Pustaka Utama
Kota terbit       : Jakarta
Tahun terbitan : 2016 (cetakan ke-24)
Halaman          : xii + 422 + 10 (promosi) halaman
Ukuran kertas  : 19,7 x 13,7 cm
Kategori          : Novel/ Fiksi
Cover              :


Sinopsis
  Alif Fikri adalah seorang pemuda yang berasal dari Bayur, sebuah kampung kecil di dekat Danau Maninjau Padang, Sumatera Barat. Dia adalah seorang pemuda yang terinspirasi oleh B.J Habibie. Ia memiliki sahabat bernama Randai. Mereka berdua mempunyai mimpi yang sama untuk bisa masuk ke SMA terbaik di Bukit Tinggi lalu melanjutkan pendidikan di ITB. Akan tetapi, mimpi Alif untuk mengenakan seragam abu-abu dan mengoperasikan komputer seperti yang ada di televisi dipatahkan oleh keinginan amaknya. Beberapa hari setelah kelulusan SMP, amaknya mengungkapkan bahwa ia tidak setuju jika Alif masuk SMA. Amak (Ibu Alif) ingin agar Alif masuk madrasah. Amak ingin Alif seperti Buya Hamka atau menjadi seorang pemuka agama. Keinginan amaknya yang tak terbantahkan tersebut membuat mimpi Alif untuk menjadi seorang insinyur dan ahli ekonomi pun  kandas. Dengan setengah hati, Alif pun menuruti apa yang diinginkan amaknya.
  Pada suatu sore, Alif menerima surat dari Etek Gindo (paman Alif) yang sedang belajar di Mesir. Ia diberi saran oleh pamannya untuk melanjutkan sekolah di sebuah pondok pesantren yang ada di Jawa Timur, Pondok Madani. Alif pun cenderung mengikuti saran pamannya. Dengan berbagai pertimbangan Amak dan Ayah, Alif pun diizinkan untuk menuntut ilmu di Pondok Madani. Akan tetapi, Alif belum sepenuhnya yakin dengan keputusan yang dibuatnya memilih Pondok Madani sebagai pelabuhan melanjutkan pendidikannya. Mimpinya masih sama, masuk SMA, melanjutkan ke ITB, menjadi seorang insinyur, dan ahli ekonomi.
  Pagi hari, Alif dan Ayahnya memulai perjalanan dari kampung Minanjau menuju Pondok Madani. Alif mencium tangan Amak seraya meminta doa dan memohon maaf atas segala kesalahannya. Beserta Ayahnya, Alif menaiki bus melintasi punggung Sumatera dan menuju pelosok desa di Jawa Timur. Dengan berbekal  tas abu-abu kusam dan kardus mie berisi buku serta makanan persediaan di perjalanan. Selama 3 hari dalam perjalanan pikiran Alif terus diselimuti imajinasi dan kebimbangan yang menggumpal dan menyumbat kepala Alif tentang sebuah pondok pesantren.
  Sesampainnya di terminal Ponorogo, Alif dan Ayah menenteng tas beserta barang bawaannya kemudian mencari informasi tentang lokasi Pondok Madani. Belum keluar dari terminal, Alif melihat panitia penerimaan peserta didik baru Pondok Madani yang kemudian datang menyambut Alif dan Ayah. Orang tersebut membawakan barang bawaan Alif dan Ayahnya menuju ke bus. Mereka menaiki  bus biru PM transport menuju Pondok Madani. Di perjalanan menuju pondok terdapat spanduk-spanduk bertuliskan “Ke Madani, apa yang kau cari ?”. Di dalam bus Alif pun bertemu dengan Raja dan Dulmajjid.
  Sesampainnya di Pondok Madani, Alif mengisi formulir dan mengikuti tur keliling pondok bersama panitia. Gedung  utama Pondok Madani ada 2 yaitu Masjid Jami yang mampu menampung empat ribu orang dan bangunan kedua adalah sebuah aula serbaguna. Melihat fasilitas dan berbagai penjelasan yang diberikan oleh panitia, Alif menjadi yakin jika belajar di Pondok Madani bukan keputusan yang salah. Akan tetapi, untuk dapat menjadi santri di Pondok Madani ternyata Alif harus mengikuti tes tertulis dan tes lisan. Tes tersebut diikuti oleh dua ribu calon peserta dan hanya empat ratus anak yang akan diterima. Alif hanya berbekal niat ingin belajar di Pondok Madani serta sepotong ingatan saat belajar di SD dan MTs dan satu batang pulpen. Alif pun dapat mengikuti tes dengan tuntas. Tepat tengah malam sehari setelah ujian usai, papan pengumuman dibawa dari ruang panitia ujian. Ternyata nama Alif Fikri tercantum di dalam papan, Alif dan Ayah pun merasa senang. Ayah pun pulang setelah melihat pengumuman pada keesokan harinya dan meninggalkan Alif sendiri dalam keramaian.
  Di hari pertama masuk kelas, Alif mendengar teriakan “Man jadda wajada” sebuah mantra sakti yang membuat semangat Alif dan teman-temannya meletup-letup. Alif sontak berteriak seperti tak ingin kalah keras dengan yang lain. Dengan komando Ustad Salman sebagai wali kelas, mantra sakti “Man jadda wajada “. Siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil, bersahut-sahutan selama satu jam. Alif pun semakin bersemangat dan ikhlas menjalani hari-harinya di pondok pesantren.
  Sehabis isya, murid-murid berbondong-bondong menuju aula untuk mengikuti acara Pekan Perkenalan Siswa Pondok Madani. Seorang laki-laki paruh baya naik ke podium. Matanya berbinar-binar dan tersenyum kepada lautan murid baru., wajahnya terlihat seperti seorang bapak penyabar. Dia adalah Kyai Rais, seorang almukarram atau pemimpin pondok yang telah belajar ke Al-Azhar, Madinah, dan Belanda. Tak heran jika kyai yang berpenampilan sederhana dan setengah rambutanya telah memutih  itu dijuluki rennaisanceman atau pribadi yang tercerahkan karena keanekaragaman ilmu serta pengalamannya yang lengkap sebagai seorang pendidik. Kyai Rais menyambut murid baru dan memberikan semangat untuk membulatkan niat mencari ilmu hanya untuk Allah semata.
  Di Pondok Madani, Alif berteman dengan Raja dari Medan, Said dari Surabaya, Dulmajid dari Madura, Atang dari Bandung dan si jenius Baso dari Gowa, Sulawesi. Kehidupan di Pondok Madani memang tidak semudah dan sesantai menjalani sekolah biasa. Hari-hari Alif dipenuhi kegiatan hapalan Al-Qur’an, belajar siang-malam, harus belajar berbicara bahasa Arab dan Inggris di 6 Bulan pertama. Pondok Madani melarang keras murid-muridnya berbahasa Indonesia, Pondok Madani mewajibkan semua murid berbahasa Arab dan Inggris. Belum lagi peraturan-peraturan lain yang sangat ketat. Sedikit saja melanggar, hukumanlah imbalannya.
  Tahun-tahun pertama Alif dan kelima temannya begitu berat. Mereka harus menyesuaikan diri dengan peraturan di Pondok Madani. Menjelang ujian adalah hal yang paling berat dijalani di Pondok Madani. Semua murid belajar 24 jam nonstop dan hanya beberapa menit untuk tidur. Mereka benar-benar harus mempersiapkan mental dan fisik yang prima demi menjalani ujian lisan dan tulisan yang biasanya berlangsung selama 15 hari. Akan tetapi, di sela-sela rutinitas pondok yang super padat dan ketat, Alif dan kelima temannya selalu menyempatkan diri untuk berkumpul dibawah menara masjid. 
    Alif akrab disebut Sahibul menara oleh teman-temannya. Meraka menghabiskan waktu senggang untuk belajar bersama-sama, mendiskusikan tentang impian mereka, dan mengagumi kisah-kisah islami. Semuanya dilakukan di tempat yang sama yaitu menara. Suatu ketika, sahibul menara menunggu maghrib sambil menatap awan yang berarak menuju peraduan. Di mata mereka, awan-awan itu menjelma menjadi negara dan benua impian masing-masing. Kemana impian membawa mereka? Mereka tidak tahu. Yang mereka tahu adalah jangan pernah meremehkan impian walau setinggi langit. Sesungguhnya Tuhan Maha Mendengar.
  Di tahun kedua dan seterusnya, kehidupan Alif dan rekan-rekannya lebih berwarna dan penuh pengalaman menarik. Di Pondok Madani, semua teman, guru, satpam, bahkan kakak kelas adalah keluarga yang harus saling tolong menolong. Semua terasa begitu kompak dan bersahabat.  Hingga pada suatu hari, hal yang tidak terduga terjadi. Baso memutuskan untuk keluar dari Pondok Madani karena masalah ekonomi dan keluarga. Baso adalah teman Alif yang paling pintar dan paling rajin. Kepergian Baso justru membangkitkan semangat Alif, Atang, Dulmajid, Raja, dan Said untuk menamatkan pendidikan di Pondok Madani. Mereka ingin menjadi orang yang sukses dan mewujudkan cita-cita mereka menjajahkan kaki di benua Eropa dan Amerika.
  Impian Alif dan kawan-kawannya kini telah menjadi nyata. Alif kini berada di Amerika, Raja di Eropa,  Atang di Afrika, Baso di Asia, sedangkan Said dan Dulmajid tetap berada di Indonesia.  Dulu mereka sering merancang mimpi-mimpi di bawah menara, melukis langit dan membebaskan imajinasi itu lepas membumbung tinggi. Mereka tidak takut bermimpi, walau sejujurnya juga mereka tidak tahu pasti bagaimana cara mewujudkannya. Akan tetapi,  Tuhan sungguh Maha Kuasa dan Pendengar. Segala ikhtiar dan doa telah mereka kerahkan demi menggapai mimpi. Alhasil, Tuhan mengirim benua impian ke pelukkan mereka masing-masing. Di lima negara yang berbeda, kini impian di bawah menara benar-benar menjadi nyata.  Sungguh Tuhan selalu memberikan keberhasilan bagi siapa saja hamba-Nya yang bersungguh-sungguh.

Keunggulan:

1.    Buku ini cocok untuk berbagai kalangan, bahkan menurut saya buku ini adalah sebuah novel yang sangat inspiratif.
2.    Penggunaan alur campuran dalam novel ini dapat membuat pembaca terhindar dari rasa bosan ketika membaca. Pembaca akan larut dalam cerita dan terus membaca novel sampai bagian akhir cerita.
3.    Bahasa yang digunakan penulis sangat lugas dan ringan sehingga dapat mudah dipahami. Selain itu, membaca novel ini juga dapat memperkaya kosa-kata dan wawasan tentang bahasa asing.
4.    Novel ini dapat menginspirasi  anak muda untuk bersemangat dalam meraih cita-cita dengan berprinsip pada kalimat “Jangan Pernah Remehkan Impian walau setinggi apapun sungguh Tuhan Maha Mendengar dan percayalah dengan kalimat sakti man jadda wajada!
5.    Kualitas kertasnya bagus dan font hurufnya rapi sehingga nyaman untuk dibaca.

Kekurangan:
1.    Masih ditemukan typo pada halaman 147. Hal tersebut merupakan kesalahan sederhana namun berefek pada kualitas buku.
2.    Klimaks merupakan salah satu aspek yang paling menentukan menarik atau tidaknya sebuah cerita. Akan tetapi, dinamika klimaks dalam novel Negeri 5 Menara tidak begitu terasa atau menonjol sehingga terkesan datar.
3.    Harga novel kurang bersahabat dengan kantong pelajar.
4.    Tidak ada ilustrasi atau gambar dalam novel. Padahal, ilustrasi atau gambar dapat memberikan pengalaman tersendiri kepada pembaca. Pengalaman seperti ketika membaca novel 99 Cahaya di Langit Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra.
5.    Entah karena penulis ingin membuat sekuelnya, tapi ending cerita yang terasa menggantung dapat mengurangi kepuasan pembaca secara emosional.

Penutup:
  Secara keseluruhan, novel  Negeri  5 Menara karya Ahmad Fuadi cukup bagus. Sebuah bacaan yang menarik untuk berbagai kalangan. Novel ini menyajikan kisah yang realistis sehingga dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Novel ini sarat dengan kisah-kisah inspiratif. Sebagai tokoh utama, Alif Fikri merupakan gambaran ideal seorang remaja yang pantang menyerah meraih cita-cita. Tepat jika remaja masa kini belajar dari kisah inspiratif tokoh Alif Fikri. Selain itu, pemahaman tentang nilai-nilai religius juga semakin tergali dengan membaca novel ini. Jika Anda mencari novel yang penuh kisah inspirasi, tidak salah jika menjatuhkan pilihan pada novel ini. Banyak novel-novel karya anak bangsa yang berkualitas, novel Negeri 5 Menara karya Anwar Fuadi adalah salah satu novel berkualitas yang wajib dibaca.

Penulis resensi: Afnestya Happy K. ( SMAN 1 Bukateja)




Comments

Popular posts from this blog

Materi Gagasan Utama Teks Eksplanasi

Materi Informasi Berupa Pengetahuan dan Urutan Kejadian Teks Eksplanasi