Menanti Reinkarnasi Max Havelaar
Max Havelaar. Barangkali, banyak orang yang tidak akrab dengan nama tersebut. Sekalipun dia sosok "pahlawan" yang berusaha memerangi kebatilan, sama seperti "pahlawan-pahlawan" lain dalam novel atau film, namanya kurang begitu dikenal, terutama oleh kaum muda. Generasi muda memang lebih suka sosok "pahlawan" yang memiliki kekuatan super, tampan, dan kaya. Iron Man atau Batman misalnya.
"Perkenalan" saya dengan Max Havelaar dimulai ketika membaca tetralogi Bumi Manusia milik Pramoedya Ananta Toer. Di bukunya tersebut, Pram sering menyebut nama Multatuli dan belakangan saya tahu kalau Multatuli adalah nama pena dari Eduard Douwes Dekker. Dia adalah seorang penulis berkebangsaan Belanda yang pernah bekerja sebagai pegawai pemerintah (ambtenaar) di Hindia Belanda pada tahun 1840-an.
Eduard Douwes Dekker-Wikipedia |
Lalu, apa hubungan Max Havelaar dengan Multatuli?
Max Havelaar adalah tokoh utama dalam roman yang tulis oleh Multatuli. Roman tersebut berjudul Max Havelaar, of de Koffieveilingen der Nederlandshe Handelsmaatschappij (Max Havelaar, atau Lelang Kopi Perusahaan Belanda). Roman ini terbit pada tahun 1860, lalu diadaptasi ke dalam film dengan judul yang sama pada tahun 1976. Karena dianggap kontroversial, film ini sempat dilarang tayang di Indonesia.
Roman Max Havelaar bercerita tentang kehidupan masyarakat Lebak, Banten tahun 1850-an. Roman ini juga menyinggung tentang Cultuurstelsel (sistem tanam paksa) yang diprakarsai oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada tahun 1830. Max Havelaar sendiri adalah seorang Asisten Residen (pendamping regent/bupati pada sebuah afdeling/wilayah setingkat kabupaten).
Berbeda dengan stereotip bangsa penjajah yang dikenal angkuh dan kejam, Max Havelaar digambarkan sebagai pejabat "londo" yang humanis. Atas rekomendasi saudaranya, Dia ditempatkan di Lebak, sebuah wilayah yang sangat miskin. Max pun mengetahui ada praktik pemerasan, kekerasan, dan korupsi yang dilakukan oleh penguasa lokal melalui dokumen yang dibuat oleh Asisten Residen sebelumnya. Dia menyusun rencana untuk mengungkap kebenaran. Sayangnya, rencana Max tidak berjalan mulus. Upaya yang dia lakukan tidak mendapatkan dukungan, bahkan dari orang-orang sebangsanya yang ternyata mendukung praktik pemerasan, kekerasan, dan pembunuhan olah para penguasa lokal kepada rakyatnya. Pada akhirnya, Max pun diberhentikan dari jabatannya sebelum kebenaran terungkap.
Adakah sosok Max Havelaar di era modern saat ini?
Meskipun bangsa "londo" telah angkat kaki dari bumi nusantara, tapi tidak dengan praktik korupsi, penindasan, dan kekerasan yang masih saja dilakukan sampai saat ini. Pasca G30S tahun 1965, simpatisan "partai merah" dan pihak yang dianggap bersebrangan dengan pemerintah diberangus habis-habisan oleh para penguasa. Pasca runtuhnya orde baru, banyak aktivis yang wafat dan hilang karena menyerukan hak-haknya sebagai warga negara. Kasus korupsi semakin meraja lela, dari pejabat tinggi sampai kepala desa. Berbagai keputusan pemerintah pun dianggap tidak mengutungkan rakyat kecil.
Demo tolak revisi RUU KPK (2015)-Tribunnews |
Di kondisi seperti ini, saya pribadi mengharapkan hadirnya tokoh protagonis seperti Max Havelaar. Belakangan, saya melihat ada seorang tokoh yang hampir menyerupai Max. Dia berusaha mengungkap "praktik curang" yang dilakukan oleh para kaum elite. Sayangnya, nasibnya juga sama seperti Max yang dibungkam oleh sebangsanya sendiri.
Semangat Max tentu patut kita teladani. Tidak menutup kemungkinan akan lahir Max baru yang dapat membawa keadilan dan kesejahteraan bagi bangsa ini.
Salam!
Isnan Adi Priyatno
Comments
Post a Comment